Pengantar AMDAL

0

Materi kuliah pengantar Amdal :
1 - Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2 - Pendekatan Ekologi Sebagai Dasar Kajian Amdal
3 - Kajian Kelayakan Lingkungan
4 - AMDAL
5 - Metode - metode Dalam Penyusunan Dokumen AMDAL
6 - Penyusunan Dokumen AMDAL dan UKL - UPL 
7 - Perhitungan Nilai Kerusakan Lingkungan


Pertemuan 1
Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup

A. Sejarah Pengelolaan Hidup Dunia
Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan (PD)-1, pada dekade 1960-1970, untuk merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke –2 (1970-1980). 

Laporan Sekreatris Jendral PBB yang diajukan dalam sidang umum PBB, dan disahkan dengan resolusi PBB No 2581 (XXIV) tanggal 15 Desember 1969. Dalam resolusi tersebut diputuskan untuk membentuk Panitia Persiapan yang bersama sekjen PBB untuk menarik perhatian dunia dalam masalah-masalah lingkungan.

Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972. 

Hasil perumusan tersebut adalah :
1) Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia
2) Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia, terdiri dari 109 rekomendasi
3) Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan antara lain :
    i) Dewan Pengurus (UN Environmental Program , UNEP)
   ii) Sekretariat
  iii) Dana Lingkungan Hidup
  iv) Badan Koordinasi Lingkungan Hidup
4) Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.


Perkembangan selanjutnya Komisi PBB membentuk World Commission on Environmental and Development (WCED), yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland pada tahun 1983 dengan anggota terdiri dari berberapa negara termasuk Indonesia (Prof.Dr.Emil Salim). 

Hasil kerja dari WCED yang tercacat sampai saat ini dan digunakan sebagai tonggak dalam pengelolaan lingkungan adalah Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). 

WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dengan sudut pandang sebagai berikut :

1) Ketergantungan (Interdependency)
Masalah polusi, penggunaan bahan kimia, kerusakan sumber plasma nutfah, pertumbuhan kota, konservasi sumberdaya alam, tidak mengenal batas negara. Mengingat permasalahan saling tergantungan maka pendekatan harus dilakukan lintas sektor antar negara.

2) Berkelanjutan (sustainability)
Sumberdaya alam sebagai sumber bahan baku kegiatan industri, perdagangan, perikanan, energi, harus dipertimbangkan untuk generasi yang akan datang.

3) Pemaraan (Equity)
Desakan kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga perlu dilakukan pengaturan untuk pemerataan.

4) Sekurity dan Resiko Lingkungan
Perlombaan senjata dan pembangunan tanpa memperhitungkan dampak negatip kepada lingkungan turut memperbesar resiko lingkungan. Segi ini perlu ditanggapi dalam pembangunan berwawasan lingkungan.

5) Pendidikan dan Komunikasi
Pendidikan dan Komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai tingkat pendidikan dan lapisan masyarakat.

6) Kerjasama Internasional
Pola kerjasama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan sektoral. Pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan.


Pada Dasawarsa Pembangunan Dunia 4 (1990-2000), pada tingkat dunia keprihatinan tentang perubahan lingkungan pada tingkat global semakin tinggi. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada skala lokal tapi sudah melintas pada wilayah lain. Fenomena hujan asam, efek gas rumah kaca dan akibat lain dari perubahan lingkungan menjadi bahan pertimbangan yang serius bagi komisi PBB tentang pembangunan dan lingkungan. 

Pada Tahun 1992 United Nation Conference on Environmental and Development mengagendakan Koferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Jenairo, Brasilia, yang diprakarsai oleh PBB mulai tanggal 3 sampai 14 Juni 1992. KTT ini merupakan peringatan ke 20 Konferensi Stocholm 1972. 

Hasil deklarasi tersebut antara lain :
a) The Rio de Janeiro Declaration on Environmental and Development, menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.
b) Konsensus internasional tentang prinsip-prinsip pengelolaan kehutanan, yang mencakup aspek konservasi sumberdaya alam hayati.
c) Agenda 21, merupakan kesepakatan kerangka kerja dunia internasional yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada abad 21.

Agenda tersebut mencakup 31 Bab dibagi dalam 21 bagian. Pada perkembangan selanjutnya dalam upaya menyikapi perubahan lingkungan yang semakin mengglobal akibat pemanasan global bumi (efek gas rumah kaca), hujan asam, perusakan hutan, dan masalah lingkungan lain, telah dilakukan kesepakatan di Kyoto Jepang (Protokol Kyoto, 1997 ) tentang persetujuan pelaksanaan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (KKPI). Pada protokol Kyoto telah disepakati bahwa negara-negara kelompok G-7, akan melakukan pengurangan emisis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC,PFC, SF6) .

Pada Dasawarsa 2000 – 2010 (Pembangunan Dunia – 5), pada dasawarsa ini telah dilakukan kajian dan perumusan lanjut tentang agenda 21, dengan Millenium Development Goals (MDG). Dalam beberapa prinsip tentang MDG tersebut telah dirumuskan kesepakatan sebagai berikut. Kesepakatan anggota PBB sebagai indikator efektivitas upaya-upaya pembangunan (KTT Bumi 1992). Pendekatan menyeluruh untuk semua sektor dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. 

Beberapa hal yang menjadi prioritas utama dalam MDG tersebut adalah sebagai berikut :
1. Eradicate extreme poverty and hunger ( membasmi kelaparan dan kemiskinan )
2. Achieve universal primary education ( mencapai pendidikan menengah secara menyeluruh, bagi masyarakat)
3. Promote gender equity and empower women (Mendorong konsep keseimbangan perempuan dan pemberdayaan wanita).
4. Reduce child mortality (menurunkan kematian anak)
5. Improve maternal health (meningkatkan kesehatan terutama ibu)
6. Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain).
7. Ensure environmental sustainability (menjamin pembangunan berkelanjutan)
8. Develop a global partnership for development (meningkatkan kerjasma global untuk pembangunan).

Pada Dasawarsa ini merupakan Era Perubahan Iklim. Pada era ini telah mulai dirumuskan pendekatan baru untuk kalanjutan Millenium Development Goals (MDGs) dengan pendekatan Sustainable Development Goals. Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, juga telah membentuk Unaited Nation Framework Conference for Climate Change (UNFCCC) yang akan mempersiapkan konferensi tingkat tinggi (KTT). 

Pada dasa warsa ini dunia banyak memperdalam dampak perubahan iklim (Global Climate Change). Agenda pertemuan dunia telah banyak menghasilkan kesepakatan kesepakatan. KTT bumi yang telah dimulai tahun 1992 di Rio de Jeneiro Brasil, telah ditindak lanjuti dengan KTT berikutnya. 

Hasil KTT yang penting antara lain sebagai berikut :

# KTT Bumi ke 13 (UNFCCC-COP-13), 2007, Bali Indonesia
KTT ini dilaksanakan di Bali pemerintah Indonesai sebagai tuan rumah, berlangsung dari 3-14 Desember tahun 2007. Hasil kesepakatan dalam KTT ini dikenal dengan Instilah : Bali Road Map, atau Peta menuju Bali. 

Beberapa butir hasil kesepakatan KTT ini adalah sebagai berikut :
a. Adaptasi
Kesepakatan untuk membiyai proyek adaptasi di negara-negara berkembang yang ditanggung melalui Clean Development Mechanisme (CDM)), yang ditetapkan protokol Kyoto. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).

b. Teknologi
Kesepakatan untuk memulai program strategis untuk alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan Negara berkembang. Tujuan program ini adalah meberikan contoh nyata proyek untuk menciptakan lingkungan yang menarik.
Kegiatan ini termasuk insentif sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menysun program bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan sektor keuangan swasta.

c. Reducing Emissions from Deforestation in Developmnet Countries (REDD)
Menyepakati adopsi metode untuk menghindari pengundulan hutan. Perkiraan jumlah pengurangan emisi dari penggundulan hutan.

d. Intergoverment Panel on Climate Change (IPCC)
Kesepakatan bahwa hasil laporan IPCCme rupakan laporan yang komprehensif untuk digunakan sebagai acuan bersama.

e. Clean Development Mechanism (CDM)
Kesepakatan untuk menggandakan batas ukuran kegiatan penguhutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah Negara CDM ke Negara yang sebelumnya tak bisa ikut dalam mekanisme ini.

f. Negara Miskin
Kesepakatan memperpanjang mandate Group Ahli Negara Miskin atau Least Developed Countries (LDCs). Grop ini menyediakan saran kritis untuk Negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNCCC sepakat Negara miskin harus didukung karena kapasitas adaptasinya rendah.

# KTT Bumi ke 14 (UNFCCC-COP-14), Poznan, Polandia
KTT ini berlangsung 1-12 Desember 2008, kegiatan ini merupakan langkah langkah untuk mematangkan konferensi yang akan dilaksanakan di Kopenhagen.

Beberapa hasil dari kegiatan KTT ini adalah sebagai berikut :
a. Pembentukan kelompok kerja untuk pelaksanaan protocol Kyoto
b. Pembentukan kelompok kerja untuk Kerangka Acuan Langkah Kerjasama
c. Review Protokol Kyoto
d. Pendanaan untuk adaptasi
e. Tanggal dan pelaksanaan meeting lanjutan di Kopenhagen

# KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen (UNFCCC-COP-15), Denmark
KTT ini dilaksanakan pada tahun 2009 bertempat di Kopenhagen Denmark. dihadiri oleh 110 negara. Conference Of Perties (COP) terdiri dari negara-negara di dunia yang merupakan bentuk kompromi antara negara maju dan negara berkembang.

Perubahan iklim yang disinyalir banyak disebabkan emisi gas karbon dari industri negara maju, sangat mengancam negara berkembang bergeografi kepulauan. Tidak ada target pengurangan emisi gas rumah kaca dari negara maju. Ada prakarsa 25 negara maju untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Banyak peserta yang menyatakan KTT ini tidak menghasilkan rumusan nyata. Rumusan banyak diharapkan memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh negara untuk melaksanakan aksi bersama dalam penanggulangan perubahan iklim.

Dirumuskan Copenhagen Accord, terdapat lima butir utama yang merupakan usulan dari Indonesia, melalui pidato presiden Indonesia. Lima usulan utama Indonesia dalam KTT tersebut adalah :
a. Usaha seluruh dunia untuk menahan agar dampak perubahan iklim tidak sampai menaikan suhu global sampai menaikan suhu global sampai dua derajad celcius sampai tahun 2050.
b. Perlunya negara maju menyebut target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara ambisius.
c. Perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanggulangan perubahan iklim bagi negara berkembang
d. Perlunya penerapan pola pembangunan ramah lingkungan,
e. MRV (measrument, reporting, verifying) pelaksanaan komitmen penanganan perubahan iklim dan masalah kehutanan.

KTT Copenhagen, memiliki sisi lemah belum adanya Legally Binding (kesepakatan mengikat), sehingga merupakan catatan hasil dan belum mengikat negara-negara di dunia.

# KTT Perubahan Iklim di Cancun (COP-16), 2010, Mexico
KTT ini berlangsung mulai 29 Nopember 2010 di Cancun, Mexico. Pada KTT iklim tahun tersebut ini terdapat pilihan untuk memutuskan antara masa depan yang aman atau melanjutkan bisnis seperti biasa dan memungkinkan perubahan iklim untuk terus mengancam berbagai aspek kehidupan di bumi. 

Delegasi Indonesia terdisi dari Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhamad Hatta dan ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rahmad Witular. Hasil KTT Cancun ini lebih baik dari Konferensi Perubahan Iklim di Denmark. Jika di Denmark hanya notes saja, kalau ini sudah ada agreement.

Beberapa kesepakatan dalam Cancun Agreement adalah masuknya target negara industri dalam negosiasi internasional serta kewajiban negara maju mengembangkan strategi pembangunan rendah karbon. Aksi negara berkembang dalam menangani perubahan iklim juga masuk dalam negosiasi multilateral. 

Selanjutnya, akan dibentuk registrasi sebagai pencatatan dan penyesuaian aksi mitigasi negara berkembang terhadap pendanaan dan dukungan teknologi negara maju. Laporan kemajuan dipublikasikan per dua tahun.

Suatu kerangka kerja adaptasi juga akan dibentuk guna perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek adaptasi yang lebih baik di negara berkembang melalui peningkatan dukungan teknis dan keuangan serta proses yang jelas untuk mengukur kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim.

Para peserta yang hadir dalam KTT ini juga telah menetapkan mekanisme teknologi melalui Komite Eksekutif Teknologi serta Jejaring Kerja dan Pusat Teknologi Iklim untuk meningkatkan kerjasama teknologi dalam rangka menyusun aksi adaptasi dan mitigasi.

Satu hal yang masih disayangkan dalam pertemuan KTT Perubahan Iklim tersebut adalah belum tecapai kesepakatan baru untuk memastikan komitmen pasca berakhirnya Protokol Kyoto. Negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto sepakat melanjutkan negosiasi untuk keberlanjutan perjanjian tersebut pascaberakhir pada 2012 pada pertemuan selanjutnya.

Upaya transfer teknologi untuk menangani masalah perubahan iklim sudah tak menjadi masalah. Pembicaraan mengenai protokol Kyoto masih agak macet dan akan dilanjutkan nanti di Afrika Selatan.

# KTT Perubahan Iklim di Durban (UNFCCC-COP-17), 2011, Afrika Selatan
Konferensi Perubahan Iklim (UNFCC COP 17) di Durban, Afrika Selatan telah dihasilkan “Durban Platform”. 

Hasil kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto (KP), yang telah disepakati oleh para pihak KP, kecuali Kanada, Rusia dan Jepang.
2. Tercapainya kesepakatan Operasionalisasi Green Climate Fund, kesepakatan berbagai aspek teknis REDD+, Komite Adaptasi, Komite Alih Teknologi, yang kesemuanya dicapai melalui proses negosiasi.

Selain negosiasi internasional, di Durban diselenggarakan Side Events dan Exhibits di UN Compound yang ditujukan untuk pertukaran informasi, peningkatan kapasitas, diskusi kebijakan dan legitimasi tata pemerintahan global. Di luar UN Compund terdapat ratusan kegiatan lainnya yang diselenggarakan sebagai parallel events, seperti misalnya Climate Change Response Expo yang diadakan untuk menampilkan inisiatif dan solusi perubahan iklim pemerintah Afrika Selatan.

# KTT Perubahan Iklim di Doha (UNFCCC-COP-18), 2012, Qatar
Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar, menghasilkan diantaranya mengenai kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua, pengurangan emisi dengan ambisi yang lebih besar, serta pelaksanaan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang oleh negara maju untuk membantu negara berkembang melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keputusan yang tertuang dalam “Doha Climate Gateway” (DCG) tersebut tidak sepenuhnya memuaskan bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain, khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju.

Mengenai keberlanjutan Protokol Kyoto, sebanyak 37 negara maju dan Uni Eropa telah menyepakati pelaksanaan periode komitmen kedua (Second Commitment Period) selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Negara-negara tersebut merepresentasikan kurang dari 20 persen emisi gas rumah kaca dunia. Sedangkan tiga negara maju yaitu Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan untuk tetap menjadi anggota (negara pihak) Protokol Kyoto, namun tidak memiliki komitmen penurunan emisi. Sementara itu, Kanada bergabung dengan Amerika Serikat yang memutuskan untuk keluar dari Protokol Kyoto.

Menanggapi hasil keputusan Doha tersebut, Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar, mengatakan Indonesia meminta negara maju menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya pengurangan emisi. Terkait pendanaan, negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya “qualitative reassurance”, yaitu meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang (long-term finance) yang dibuat di Copenhagen, Denmark pada COP15 tahun 2009. 

Di Doha, negara berkembang meminta agar penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015), atau diistilahkan mid-term financing, dengan nilai dana 60 miliar dolar AS.

# KTT Perubahan Iklim di Warsawa (UNFCCC-COP-19), 2013, Polandia
KTT ke 19 ini banyak kekhawatiran munculnya kebuntuhan akibat perbedaan kepentingan antara Negara maju (G7) dan kelompok Negara berkembang (G77). Isu perubahan iklim yang merupakan turunan dari isu energy memunculkan egoisme setiap negara karena kepentingan masing-masing. Dengan kata lain, terdapat empat permasalahan mendasar dalam mempersiapkan dan memberlakukan CP2 (Second Comitment Perioed), Protokol Kyoto-2, dalam durasi delapan tahun ke depan. 

Pertama, terkait target ambisi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara-negara berkembang menginginkan perundingan Doha menghasilkan target ambisi yang jelas mengenai peningkatan pengurangan. Sementara itu, tidak adanya kemauan yang kuat dari negara-negara maju untuk meningkatkan tingkat ambisi mereka terkait dengan janji pengurangan emisi yang rendah. 

Kedua, terkait kekuatan hukum yang mengikat (legally binding). Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara-negara berkembang bersikeras untuk menetapkan CP2 dengan amandemen agar mengikat secara hukum.

Ketiga, terkait penetapan Quantified Emission Limitation or Reduction Objectives (QELROs). Belum disepkatinya secara jelas mengenai ketentuan QELROs dalam CP2 ini juga semakin menipiskan harapan negara-negara berkembang akan komitmen negara-negara maju. Pembatasan jumlah emisi atau tujuan pengurangan QELROs dari masing-masing pihak negara maju belum mengikat secara hukum bagi negara tersebut. 

Dan, yang keempat adalah terkait dengan format atau kerangka instrumen hukum CP2. Bagaimana format/kerangka multilateral perubahan iklim pasca berakhirnya komitmen periode kedua Protokol Kyoto yang diadopsi paling lambat pada tahun 2015? Apakah itu dengan membentuk sebuah protokol baru ataupun melalui format atau suatu instrumen hukum lain, yang penting protokol atau instrumen hukum tersebut haruslah memiliki legal certainty dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. 

Untuk kelompok Uni Eropa/European Union (EU), sebanyak 37 negara UE memang telah menyepakati pelaksanaan CP2 tersebut selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Namun, UE yang sebelum KTT Copenhagen menggebu-gebu berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kacanya hingga 30% pada tahun 2020, harus memendam ambisi mereka mengingat para pemimpinnya sangat disibukkan dengan upaya menyelamatkan ekonomi Eropa yang sedang dilanda krisis finansial. 

Untuk kelompok G-77 dan Cina, Aljazair atas nama Kelompok 77 dan Cina menekankan pentingnya pilihan hukum untuk menghindari kesenjangan antara komitmen periode pertama dan kedua.

CP2 di bawah Protokol Kyoto adalah penting dan harus dapat menetapkan target yang ambisius sejak 1 Januari 2013 tanggal dimulainya, tidak dapat ditunda.CP2 harus memberikan hasil yang kuat dan mengikat secara hukum dan menjamin tidak ada kesenjangan.

Perkembangan dan perhatian terhadap lingkungan hidup memang masih terus berkembang, akan tetapi juga mulai menunjukkan pesimisme, karena tidak komitnya Negara-negara maju untuk menurunkan emisi karbon. Negara berkembang juga tidak bisa menerima ketika diharuskan tidak melakukan penggundulan hutan dalam fungsinya sebagai paru-paru dunia, bila tidak ada komitmen bersama maka pengendalian perubahan iklim memiliki potensi mengalami kegagalan.


B. Sejarah Pengelolaan Hidup Indonesia
# Dasawarsa 1960-1980 ( Pembangunan Dunia – 1,2)
Pada dasa warsa tersebut di Indonesia belum ada pemikiran atau gerakan tentang pengelolaan lingkungan hidup.

# Dasawarsa 1980-1990 ( Pembangunan Dunia – 3)
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia di mulai pada tahun 1976 dengan penyusunan RUU Lingkungan Hidup dan ditingkatkan pembahasannya pada tahun 1979. Hasil penyempurnaan disampaikan kepada menteri sekretaris negara tanggal 3 Juli 1981. Tanggal 12 Januari 1982 RUU dengan Surat Presiden RUU tersebut disampaikan kepada DPR. Pada tanggal 25 Februari 1982 dengan aklamasi RUU Lingkungan Hidup disetujui pada sidang Paripurna. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah disahkan menjadi Undang-Undang No 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya undang-undang tersebut disebut sebagai UULH.

Dalam menindaklanjuti operasional UULH tersebut dikeluarkan Peraturan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pememrintah (PP) No 29 Tahun 1986 Mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kepmen LH : Kep 02/MENKLH/1988 Tentang Baku Mutu Lingkungan. Beberapa Kepmen KLH lain dan Surat Keputusan Pada Pememrintahan yang lebih operasioanl di Tingkat Propinsi atau Kabupaten.

# Dasawarsa 1990 -2000 ( Pembangunan Dunia – 4)
Pada dasawarsa tersebut di Indonesia telah menyempurnakan peraturan perundang-undangan, antara lain dengan dibentuknya Undang-Undang No 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dengan berbagai peraturan pemerintah pengikutnya. Peraturan Pemerintah yang masih digunakan sebagai landasan hukum dalam penyusunan AMDAL saat ini adalah PP No 27 Tahun 1999, sebagai pengganti PP no 51 tahun 1993. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 17 Tahun 2001, tentang petunjuk teknis dalam penyusunan AMDAL, sebagai pengganti Kepmen no 29 tahun 1996. Dalam Dasa warsa ini juga telah dirumuskan dalam AGENDA 21 Nasional, yang memuat tentang kerangka pembangunan nasional dalam mewujudkan pembangunan abad 21. Agenda ini juga telah dijabarkan dalam Agenda 21 Daerah sampai pada tingkat pememrintah Kabupaten/Kota.

Dasawarsa 2000 -2010 ( Pembangunan Dunia –5)
Dalam Dasa-warsa ini pelaksanaan pembangunan dalam Agenda 21 nasional terus dilaksanakan, dengan mengadopsi butir-butir dalam Millenium Development Goals dalam kebijakan pemerintah pada setiap sektor. Agenda 21 nasional secara global disajikan pada bagan berikut :

Pada dekade ini juga telah dihasilkan regulasi regulasi baru dalam bidang lingkungan. Yang utama adalah terbitnya Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) no 32 tahun 2009. UUPPLH ini menggantikan UU no 23 tahun 1997. Terbitnya undang undang ini diikuti dengan paraturan lain sebagai pendukungnya.

Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1999, telah diganti dengan peraturan baru dengan no yang sama yaitu Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2012. Dalam Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP 27/2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk AMDAL dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan. 

Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan. PP ini sangat berkekuatan (Powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin lingkungan dengan sanksi yang jelas dan tegas.

Peraturan Meneteri Lingkungan Hidup yang telah diterbitkan untuk mendukung UU dan PP tersebut diatas dan berhubungan dengan AMDAL adalah sebagai berikut :
a. PermenLH No 5 Tahun 2012, tentang Rencana/usaha kegiatan yang wajib dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
b. PermenLh No 11 Tahun 2012, tentang Pedoman Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. PermenLh No 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Kajian Lingkungan Hidup
d. PermenLh No 17 tahun 2012, tentang Keterlibatan Masyarakat dala Proses Penyusunan Dokumen Kajian Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Berbagai peraturan tersebut sebagai pendukung dalam melakukan kajian lingkungan hidup di Indonesia.

C. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) DAN AMDAL

KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif. KLHS digunakan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah, kebijakan dan program. KLHS dilakukan sinergi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Setiap wilayah kabupaten/kota di Indonesia telah memiliki Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penetapan pemanfaatan ruang dalam RTRW ini harus didasari adanya dokumen KLHS, sehingga pengaturan fungsi tata ruang telah dikaji secara cermat untuk menjamin keseimbangan lingkungan dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Amdal merupakan salah satu bentuk kajian dari kelayakan lingkungan. Amdal memiliki kesejajaran dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) & Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). 

Sebagai pembeda dalam penerapanya adalah besaran rencana kegiatan yang akan dilakukan, ditapis dengan menggunakan intrumen peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menghasilkan salah satu dari bentuk studi kelayakan lingkungan. Dalam melakukan kajian lingkungan maka ketepatan pemilihan bentuk studi sangat diperlukan agar dapat berfungsi sebagai bahan kajian yang berguna. Sesuai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia berbagai bentuk kajian lingkungan yang pernah ada dan pengertiannya adalah sebagai berikut.

a) AMDAL, KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (PP no 27 Tahun 2012). 

Dalam Dokumen AMDAL terdiri dari 4 dokumen yang terpisah tapi merupakan satu kesatuan yaitu KA-ANDAL, ANDAL, RKL&RPL.

Kerangka Acuan (KA-ANDAL) adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL

Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan

Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan

Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan

b) UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah dokumen tentang pengelolaan dan pematauan lingkungan bagi kegiatan yang tidak wajib amdal sebagaimana yang diatur dalam Kepmen LH no 17 Tahun 2001.

c) SPPL
Surat Penyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) adalah dokumen yang dibuat oleh pemrakarsa bagai kegiatan yang tidak wajib amdal, maupun wajib ukl dan upl. Dokumen ini saat ini tidak banyak diterapkan.

d) SEMDAL (PEL,SEL, RKL&RPL)
Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan adalah studi dampak lingkungan yang dikenakan bagi kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting, dimana kegiatan tersebut telah beroperasi sebelum peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup disahkan (UULH dan PP no 29 tahun 1986). Dalam melakukan studi tersebut akan diawali dengan penyusunan Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL) untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan kajian lanjut berupa Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) maupun RKL dan RPL. Studi ini saat ini sudah tidak ada lagi dan hanya sebagai pengetahuan.

e) PIL, KA-ANDAL, ANDAL,RKL dan RPL
Sesuai dengan PP no 29 tahun 1986, maka bagi kegiatan yang baru akan dilaksanakan harus melakukan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) bila dalam PIL ternyata diprediksikan menimbulkan dampak besar dan penting maka akan dilakukan kajian lanjut yang diawali dengan membuat KA ANDAL, RKL dan RPL. Pada saat ini sesuai dengan PP 27 tahun 1999, kegiatan tersebut telah mengalami perubahan menjadi tinggal KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL.


Pertemuan 2
Pendekatan Ekologi Sebagai Dasar Kajian AMDAL

# Ekologi dan Lingkungan

Pengertian
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang rumah atau tempat tinggal makhluk, terutama timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Makhluk hidup dalam organisasinya memiliki spektrum biologi yaitu protoplasma-sel jaringan-organ-sistem organ-organisme-spesies-populasi-komunitas-ekosistem biosfer.

Komponen ekologi dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu bahan (matter), energi (energy), ruang (space), waktu (time) dan diversitas (diversity). Lima komponen tersebut berinteraksi satu dengan lainya didalam setiap proses ekologi tertentu.

Bahan (matter)
Yang termasuk bahan adalah mineral, air, tanah, udara. Bahan tersebut berpengaruh terhadap makluk hidup pada habitatnya. Perubahan terhadap materi tersebut akan memberikan perubahan pula terhadap rantai makanan dan jaring-jaring kehidupan pada ekosistem suatu wilayah. 

Energi
Gambaran energi dalam sistem kehidupan (living sistem) dapat terjadi dalam beberapa cara, misalnya tanaman harus mendapatkan energi matahari yang cukup. Hewan perlu energi dari tumbuhan atau hewan lain. Manusia dapat memperoleh energi dari sumber hewan maupun tumbuhan. Karena kebutuhan energi tersebut maka akan terjadi saling membutuhkan, saling memangsa, dan saling memberikan. Dari konsep ketergantungan tersebut muncul konsep simbiosis atara makhluk hidup.

Ruang (space)
Ruang adalah kesatuan komponen ekologi disekitar makluk hidup. Ruang sebagai sumberdaya penting bagi makluk hidup. Ruang bagi makhluk hidup dibutuhkan baik untuk interaksi, memenuhi kebutuhan energi, tumbuh dan berkembang. Dibutuhkan satuan luas tertentu bagi makhluk hidup untuk tumbuh dan berkembang.

Waktu (time)
Waktu yang dapat disediakan untuk hidup berkelanjutan, baik untuk spesies tanaman, maupun hewan, tergantung pada dua faktor yaitu karaktersitik suatu ruang dan karakteristik spesies. Kekuarangan atau kependekan adalah salah satu dari keterbatasan sumberdaya untuk semua kehidupan. Waktu dibutuhkan untuk menemukan/mencari sesuatu. Jika perlu dengan cara kompetisi untuk menemukan makanan, jodoh,memilih tempat,sembunyi dari musuh. Waktu dibutuhkan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Terdapat korelasi kritis antara lama waktu yang tersedia untuk mecari makanan dalam fluktuasi kerapatan makanan.

Diversitas (diversity)
Diversitas suatu spesies dalam suatu lingkungan tergantung pada area, pemisah geografi, kekayaaan lingkungan, dan diversitas ekologi. Diversitas ekologi tergantung pada stabilitas iklim pada suatu habitat. Kekayaan lingkungan diukur dari curah hujan, yang berpengaruh pada meningkatnya kekayaan lingkungan dan meningkatnya diversitas spesies.


0 comments:

Post a Comment

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting